ADAPTABILITAS NILAI-NILAI HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP REFORMULASI SANKSI PIDANA KORUPSI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Oleh :
Fathor Rahman, S.H., M. Hum. ([email protected])
Dalam dinamika pemikiran hukum Islam, selalu terdapat pertentangan antara paham tekstulisme dan paham kontekstualisme. Dalam kaitan ini, muncul dua teori : Pertama, teori keabadian dan kedua teori adaptabilitas[1]. Teori keabadian meyakini bahwa hukum Islam tidak mungkin bisa berubah dan dirubah sehingga tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Peran akal manusia hanya memahami doktrin teks-teks hukum. Semnetara teori Adaptabilitas meyakini bahwa hukum Islam, sebagai hukum yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, sehingga ia bisa dirubah demi mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
Dalam tulisan ini berpijak pada teori adaptabiltas, karena Penulis meyakini bahwa nash-nash yang mendasari hukum pidana Islam dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman, melalui reintepretasi yang masih tetap menjaga maksud dari maqosyid al-syar’iyah dalam hukum pidana Islam itu sendiri. Di digunakan konsep adaptabiliatas karena mengacu pada upaya teransformasi[2], nilai-nilai hukum pidana Islam terhadap pembaharuan hukum terutama mengenai rekonsepsi sanksi pidana korupsi Indonesia. Namun Penulis bukan anti terhadap teori yang Pertama, oleh karenanya Penulis mencari jalan tengah dengan menawarkan konsep dan pemikiran Penulis sendiri, yaitu konsep “Diversifikasi Sanski Pidana” yang merupakan perpaduan antara teori Keabadian dan Teori Adaptabiitas, sehingga dalam pembahasan ini konsep adaptabilitas digunakan untuk mencari kesesuaian nilai-nilai sanksi pidana dalam hukum pidana Islam dengan tetap berpegang teguh pada otoritas kebenaran nash, terhadap pembaharuan sanksi pidana korupsi di Indonesia, yang saat ini termaktub dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehubungan dengan kemungkinan adanya relevansi dan sumbangsih hukum pidana Islam dalam rangka pembentukan hukum pidana nasional terutama yang berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana korupsi. Digunakannya istilah adaptabilitas karena dalam proses memasukkan nilai-nilai bentuk hukum pidana Islam terhadap pembentukan hukum pidana korupsi di Indonesia, akan dilakukan modifikasi dan perubahan yang masih dalam batas-batas kewajaran dan tetap berpegang teguh pada otoritas kebenaran teks, namun akan disesuaikan dengan konteks yang melingkupi realitas kehidupan sosial dalam konteks ke-Indonesia-an.
Secara umum korupsi merupakan isu yang tidak jarang menimbulkan silang pendapat dalam memahami dan memaknainya. Telah bayak pemaknaan dan definisi yang lahir dari para ahli hukum, yang apabila disederhanakan, maka korupsi dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kemanfaatan politik,[3] yang merupakan perbuatan menyimpang karena dapat menimbulkan kerugian yang luas lantaran adanya penyalahgunaan jabatan untuk tujuan pribadi, orang lain, atau korporasi di luar tujuan dan kepentingan yang dipercayakan (diamanahkan). Secara detail mengenai makna dan definisi korupsi dapat diuraikan sebagai berikut : Bahwa Istilah korupsi berasal dari kata Latin “corruptio” atau “corruptus”, yang kemudian disalin ke berbagai bahasa, seperti bahasa Inggris menjadi “corruption” atau “corrupt”, dalam bahasa Perancis menjadi “corruption”, dalam bahasa Belanda menjadi “corruptie (korruptie)”. Agaknya dari bahasa Belanda inilah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia, yang diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah[4] Atau secara harfiah berarti jahat atau busuk corruptie (dari bahasa Belanda : corruptien) mengandung arti perbuatan korup dan penyuapan[5].
Dalam rumusan yuridis formal istilah korupsi di Indonesia belum ditemukan rumusan yang pasti, namun Penulis merujuk pada pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai dirubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada pokoknya berbunyi sebagai berikut “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”[6].
Sedang dalam tradisi hukum pidana Islam secara tekstual tidak ditemukan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis yang mendasari korupsi, namun secara kontekstual bisa dipajami secara hermeneutika hukum tentang korupsi dengan berpijak pada teks nash yang memilki illat dan mafsadat serupa dengan korupsi. Fiqih Klasik nampaknya belum memberikan forsi pembahasan yang pas dan memadahi dalam pembicaraan korupsi. Ulama’ dan fuqaha salaf hanya berbicara tentang kejahatan memakan harta benda manusia secara tidak benar (akl amwal al-nas bi al-bathil) seperti yang diharamkan dalam nash, tetapi apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi (corrup), maka dapat berarti merusak (dalam bentuk kecurangan) atau menyuap[7]. Karena dalam fikih klasik tidak ditemukan pembahasan yang khusus menyangkut korupsi, maka Ulama dan Fuqoha’ kemudian melakukan ijtihad terhadap problematika korupsi, terutama menyangkut kias korupsi tarhadap hukum yang sudah dibahas secara jelas dalam fiqih klasik, yang tentunya disandarkan pada teks nash, seperti dikiaskan pada pencurian (A-Sariqoh); pencurian dengan kekerasan (Al-Hirobah); Al-Ghulul yang diartikan sebagai pengkhianatan terhadap amanah dalam pengelolaan harta rampasan perang atau penyalah-gunaan jabatan; dan Al-Risywah atau yang biasa dikenal dengan istilah suap menyuap;
Berdasarkan pengetian di atas, maka bila dikaitkan dengan rumusan sanksi pidana dalam hukum pidana Islam terdapat dua kelompok besar, yaitu; Pertama, sanksi pidana korupsi masuk dalam Hudud yang sudah ditentukan dalam tekstualitas nash, hal ini apabila korupsi diqiaskan dengan al-sariqoh dan al-hirobah. Dasar hukum jarimah pencurian ini adalah Al-Qur’an surat Al-Maidah, ayat : 38, yang artinya berbunyi sebagai berukut :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan bagi apa yang telah mereka lakukan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan lagi Maha Bijaksana”[8]. ( Al-Maidah : 38).
Sedangkan jarimah hirobah yaitu : Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat : 33, yang artinya berbunyi sebagai berikut :
“ Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, membuat kerusakan dimuka bumi, mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang atau dibuang dari negeri (kediamannya), yang demikian itu sebagai suatu penghinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mendapat siksaan yang besar[9]. ( Al-Maidah : 33)”.
Dari kedua ayat tersebut, maka sanksi korupsi dalam hukum pidana Islam adalah sebagai berikut: Pidana potong tangan (??????????? ?????????????) , Pidana dibunuh (???? ???????????); disalib (???? ???????????), dipotong tangan dan kaki secara bersilang ( ???? ????????? ??????????? ?????????????? ???? ???????), dan diasingkan dari muka bumi (???? ????????? ???? ?????????).
Inilah sanksi yang secara tekstualitas berdasarkan kedua ayat tersebut di atas. Namun dalam konteks ke-Indonesia-an, bisa dianalisis lebih lanjut dengan menggunakaan pendekatan hermenutika hukum, yang memilki nilai-nilai kontekstualisme, yang berarti dalam uapaya melakukan transformasi sanksi pidana korupsi dalam hukum pidana Islam ke dalam pembaharuan pidana korupsi di indonesia diambil nilai-nilainya saja, sehingga walau tidak persis seperti apa yang tertuang dalam teks nash, tapi setidaknya mampu mewarnai reformulasi sanksi pidana korupsi, sehingga tercipta hukum yang Islami.
Yang kedua, sanksi pidana masuk dalam jarimah takkzir, yaitu apabila korupsi diqiaskan dengan al-ghulul dan al-riswah. yang rumusan sanksinya diserahkan pada Qodhi atau Penguasa. Dan ini merupakan cirikhas sanksi atau hukuman dalam hukum pidana Islam, yang diversifikatif, yang mengandung pilihan-pilihan hukum, yang penerapannya disesuaikan dengan tingkat berat-ringannya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, dengan syarat-syarat yang ketat dan tegas. Pidana Takzir merupakan jenis hukuman yang bentuknya diserahkan kepada hakim (qodi), yang dalam peraktek berupa hukuman yang bersifat tadrib (pelajaran) dan sanksi moral, atau berupa hukuman pemberatan terhadap bentuk-bntuk pidana yang telah ditentukan di atas. Dalam peraktek pidana takzir dapat berupa : Pidana Penjara merupakan pengembagan atau moderenisasi dari pidana pembuangan atau pengusiran; Pidana Cambuk; Pidana Kurungan; Pidana Tutupan; Pidana Pembinaan; Pidana Peringatan; Pidana Perserikatan; dan lain sebaginya[10].
Sedangkan di Indonesia rumusan sanksi pidana korupsi dirumusakan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2021 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat sanksi pidana berupa pidana pokok dan pidana tambahan.
Yang Pertama Pidana Pokok, berupa : (1). Pidana Mati ; Pidana mati dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2021 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut mengisyaratkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi pidana mati apabila tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut telah diperjelas dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa adanya istilah keadaan tertentu tersebut dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi: a). Penanggulangan keadaan bahaya; b). Bencana alam nasional; c). Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter; dan d). Pengulangan tindak pidana korupsi[11]. (2). Pidana Penjara, hampir setiap rumusan tindak pidana korupsi yang dimuat dalam undang-undang tersebut disertai pula dengan adanya sanksi pidana penjara. Sanksi pidana penjara diantaranya terdapat pada Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12A ayat (2), Pasal 12B, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16[12]. (3). Pidana Denda, sebagaimana pidana penjara, pidana denda juga hampir ada pada setiap rumusan tindak pidana korupsi. Hampir seluruh rumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2021 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disertai dengan pidana penjara yang diikuti pula dengan adanya pidana denda. Pidana denda diantaranya terdapat pada Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12A ayat (2), Pasal 12B, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16. Pidana kurungan memang dikenal dalam KUHP sebagai pidana pokok, namun dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2021 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak disebutkan adanya pidana kurungan sebagai sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi[13].
Yang Kedua Pidana Tambahan[14], berupa : (1). Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Ketentuan pidana tambahan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a ini menyebutkan objek yang dapat dilakukan perampasan. (2). Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi (Pasal 18 ayat (1) huruf b). Mengenai pidana pembayaran uang pengganti ini, Ketua Mahkamah Agung pernah menyampaikan suatu fatwa yang pada intinya menganggap uang pengganti sebagai hutang yang harus dilunasi terpidana kepada Negara, dan oleh karenanya sewaktu-waktu masih dapat ditagih melalui gugatan perdata. Hal tersebut telah menggeser hakikat dari uang pengganti sebagai pidana tambahan, yang mestinya dapat dipaksakan pembayarannya.79 Pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan memang seharusnya dapat dipaksakan pembayarannya terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagai ganti atas kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku akibat perbuatannya. Karena itulah besarnya uang pengganti disesuaikan dengan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku, tidak seperti pidana denda yang memang telah ditentukan jumlahnya dalam undang-undang. (3). Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. Penjelasan dari Pasal 18 ayat (1) huruf c tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan „penutupan seluruh atau sebagian perusahaan? adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan, dimana sementara waktu tersebut telah ditentukan tidak lebih dari 1 (satu) tahun. (4). Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau npenghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d, mengenai hak-hak tertentu tidak disebutkan lebih rinci dalam penjelasannya. Berbeda dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak yang dimuat dalam KUHP Pasal 35 ayat (1) yang disebutkan secara rinci hak-hak yang dapat dicabut dari terpidana.
Secara teoritis, sumber-sumber hukum adat, hukum Islam, hukum barat, dan lain-lain, mempunyai nilai yang sama sebagai sumber bagi usaha pembaharuan hukum pidana nasional. Hanya saja sejauh mana kemungkinan itu dapat sesuai dengan keberadaan masayarakat Indonesia[15]. Oleh karenanya, dalam tulisan ini menyangkut hukum pidana Islam yang sumber utamnya Al-Qur’an untuk dijadikan acuan dalam reformulasi sanksi pidana korupsi di Indonesia agar bisa sesuai dan secara obyektif bisa diterima oleh masayarakat indoneisa yang plural, maka berkenaan dengan pendekatan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an perlu memperhatikan teori-teori penafsiran untuk membangun dan merumuskan istinbat hukum (penetapan hukum), yang mana hal ini selalu berhadapan dengan kondisi dan situasi tertentu sehingga nuansa sublimasi akan selalu tampak di dalamnya. Hal ini penting untuk menemukan pemahaman yang tertuang dalam teks, terutama dalam bidang hukum pidana Islam memang tidak lepas dari nuansa konteks yang melingkupi, yaitu : konteks waktu, konteks ruang, konteks budaya, konteks sejarah, konteks psikologis, dan konteks agama[16].
Ayat-ayat Al-Qur’an yang mendasari tentang hukum pidana Islam apabila dipahami secara mendalam, terutama yang berkaitan dengan pidana al-sariqoh dan al-hirobah (Qias : Korupsi), gaya bahasanya bersifat mujmal, artinya ayat-ayat tersebut masih bersifat umum (global). Di sana tidak dijelaskan syarat-syarat dan unsur-unsur apa saja yang harus ada sehingga pencuri dapat dijatuhi hukuman potong tangan[17]. Dalam hal ini tidak mungkin ayat tersebut dipahami hanya melihat teksnya (secara harfiah) saja, tetapi harus dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang melingkupi terjadinya pencurian tersebut, baik situasi dan kondisi yang terjadi dalam diri si pencuri maupun situasi dan kondisi yang berkaitan dengan waktu dan keadaan di sekitar dimana pencurian itu terjadi. Ini cukup beralasan, karena ayat Al-Qur’an itu diturunkan untuk mengatur kehidupan manusia yang terus mengalami perkembangan, sehingga sungguh sangat nisbi ketika ayat Al-Qur’an hanya dipahami secara kaku, tanpa melihat perubahan konteks yang terjadi[18]. Jadi kurang benar atau bahkan sama sekali tidak benar jika pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an hanya berkutat pada persoalan-persolan harfiah belaka. Sehingga untuk menemukan pemahaman hukum yang humanis dan dinamis, maka dibutuhkan pisau analisis, seprti teori hermeneutika teleologis, yang merupakan perpaduan antara teori tafsir tekstualisme dan teori tafsir kontekstualisme.
Dalam wilayah teori penafsiran, di samping hermeneutik dapat dipahami sebagai metode, ia juga dapat dipahami sebagai filsafat yang tidak bisa lepas dari pandangan tentang apa yang menjadi obyek hermeneutika itu sendiri. Di satu sisi terdapat pemikiran yang menjadikan peristiwa penafsiran sebagai fokus pembahasan, sedangkan pada sisi lain, ada yang memberi perhatian pada problem teks. Pandangan yang terakhir inilah yang relevan dalam menyingkap misteri ”Maqosid Al-syar’iyah” (tujuan hukum) dari ayat ahkam jinayah (hukum pidana) terutama terkai ayat yang merepresntasikan korupsi, seperti qias korupsi terhadap pencurian dalam Islam. Karena yang terakhir inilah menganggap bahwa tugas hermeneutik adalah menyelidiki metode-metode yang valid tentang penafsiran, melalui analisa tentang proses interpretasi dengan mengajukan cara-cara penafsiran yang terbaik untuk mrnghindari distorsi pemahaman dan bertujuan untuk mencapai kebenaran[19].
Berpijak dari tafsir hermenutika dan maqosyid al-al-syar’iya di atas, maka sejatinya hukum pidana Islam yang menyangkut sanksi pidana korupsi memiliki fleksibilitas terhadap perubahan tempat dan zaman, termasuk dalam upaya transformasi terhadap reformulasi sanksi pidana korupsi di Indonesia. Rumusan sanksi dalam pidana Islam ke dalam ranah hudud dan takzir, akan memiliki nlai-nilai adaptif dan diversifikatif, yang mengandung pilihan-pilihan hukum, yang penerapannya disesuaikan dengan tingkat berat-ringannya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, dengan syarat-syarat yang ketat dan tegas. Memang dalam hukuman tersebut terkesan keras, dan bahkan ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa sanksi pidana (uqubat) dalam hukum pidana Islam sadis dan melanggar Hak Asasi Manusia. Tapi anggapan ini kalau hanya dilihat dasi satu sisi saja, yaitu kalau dilihat hanya dari bentuk hukumannya, tapi kalau dilihat secara komprehensip, maka ketegasan dan kesan-kesan sebagaimana tersebut akan hilang, terutama apabila dikaitkan dengan konsep keseimbangan antara ketegasan dan hal-hal yang menjadi prasyarat dijatuhkan hukum tersebut. Contoh : Hukum potong tangan dalam hukum pidana Islam merupakan hukuman terhadap anggota badan, tapi jangan kemudian dianggap setiap pencuri harus dipotong tangannya. Karena untuk diterapkannya hukum potong tangan tersebut ada asyarat-syarat yang ketat, dan apabila tidak terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka potong tangan bisa digantikan dengan hukuman yang masuk dalam kategori takzir, seperti cambuk, dera, sampai pengembalian sejumlah barang, bahkan sampai pengampunan.
Bahkan dalam pemahaman yang menyandarkan pada teori reorientasi pidana Islam menyatakan, bahwa hukum Islam yang sudah ditetapkan teks itu bisa berubah ketika kenyataan masyarakat menghendakinya (teori : adaptabilitas), hal ini sejalan dengan kemunculan pemikiran hermenutik hukum pidana Islam dalam perspektif intelektual muslim yang konsen pada pembaharuan hukum Islam, seperti : Fazlur Rahman[20] dengan teori “doble movement”, Abdullah Ahmed al-Na’im[21] yang menelorkan teori “dikonstruksi syari’ah”, dan Muhammad Syahrur[22] yang menghasilkan pemikiran teori “batas” (nazhariyyat al-hud?d) dalam hukum pidana Islam. Dari pandangan ketiga para pemikir pembaharuan hukum pidana Islam tersebut, maka menjadi jelas, bahwa sanksi hukum pidana Islam dapat di lakukan reinterpretasi, sehinga nilai-nilai hukum pidana Islam dapat diformulasikan dimanapun dan kapaunpun, asalkan tujuan dari ditetapkannya hukum pidana Islam (maqosyid al-syar’iyah) dapat tercapai untuk kemsalahatan dunia dan akhirat, bahkan pemahaman potong tangan bisa dimaknai secara majazi, dalam arti bukan potong tangan yang sebenanrya, tapi dimaknai secara non fisik, misalnya “memotong” hak-hak pencuri agar tidak bisa mencuri, dengan memasukkannya ke penjara[23], atau dalam konteks pelaku tindak pidana korupsi adalah pejabat yang memilki kekuasaan, maka pemaknaan potong tangan, bisa diartikan memotong kekuasaannya, dalam hal ini, bisa diberhentikan dari kekuasaannya atau jabatannya. Inilah pemahaman-pemahaman yang terus berkembang dan selalu menarik untuk didiskusikan. Berbeda dengan golongan yang memahami nash secara tekstual yang menutup ruang bagi sebuah reorientasi dan reinterpretasi. Bagi mereka, potong tangan tidak bisa dimaknai lain, kecuali potong tangan dalam arti yang sebenarnya (lafzdiyah). Dalam kaitan ini Penulis ingin menampung dan mengambil jalan tengah dalam upaya transformasi nilai-nilai hukum pidana Islam terhadap reformulasi sanksi pidana korupsi di indonesia, seperti akan diulas lebih lanjut. Bagi Penulis, dalam menentukan hukuman yang berlandaskan nilai-nilai hukum pidana Islam dapat dilakukan baik berdasarkan teks maupun konteks, yang terpenting dalam hal ini bisa membuat efek jera bagi pelaku sesuai dengan konsep dan tujuan pemidanaan.
Kalau dilihat dari persepektif Hak Asasi Manusia, maka sesungguhnya tidak ada satu pun hukuman (pidana) yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Pidana penjara misalnya, adalah bertentangan dengan HAM, karena merupakan perampasan terhadap kemerdekaan seseorang. Tapi pidana penjara tidak dianggap melanggar HAM, apabila dijatuhkan berdasarakan proses peradialan yang bersih dan fair, melalui putusan-putusan hakim, sebagai akibat dari perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang, dengan kata lain telah melakukan perbuatan yang melanggar salah satu pasal dalam hukum pidana. Begitu pula dengan konsep pidana Islam, tidak menjadi pelanggaran terhadap HAM, apabila sanksi dalam hukum pidana Islam telah dirumuskan sebagai salah satu sanksi dalam hukum pidana positif Indonesia, dan telah melalui poses peradilan.
Upaya transformasi pidana Islam terhadap pembaharuan undang-undang tindak pidana korupsi di Indonesia, merupakan upaya untuk menciptakan penganekaragaman bentuk sanksi dalam perumusan hukum positif di Inonesia, yang hal ini akan menjadi solusi, atas problematika pidana penjara yang selama ini membuat negara dan pemerintah kewalahan dengan carut-marutnya sistem penjara yang saat ini muaranya ada dalam Lembaga Permasyarakatan, yaitu problem over kapasitas, dimana penjara sudah tidak sebanding dan tidak ideal antara rasio jumlah Lembaga Pemasyarakatan (LP) dengan jumlah warga binaan, yang terus membludak dari waktu ke waktu, belum lagi soal jumlah petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang juga tdak seimbang dengan jumlah warga binaan, belum lagi bicara soal anggaran negara yang tidak sedikit untuk membiayai Lembaga Pemasyarakatan (LP), dan lebih parah lagi, ternyata di Lembaga Pemasyarakatan (LP), banyak praktek-praktek pelanggaran hukum, dan membuka lebar-lebar peluang timbulnya tindak pidana korupsi baru di dalamnya, seperti jual beli kamar mewah, pungutan liar, dan tindakan-tindakan lain yang sebenarnya juga melanggar HAM itu sendiri. Semua ini terkuak secara telanjang ketika lembaga Permasyakatan Suka Miskin yang dikhususkan untuk nara pidana (warga binaan) korupsi ternyata di dalamnya penuh dengan praktek-praktek busuk seperti yang tersebut di atas.[24]
Selaras dengan paparan diatas, kemudian Penulis berpendapat, bahwa adaptabilitas sanksi korupsi dalam hukum Pidana Islam terhadap reformulasi sanksi pidana korupsi di indonesia dengan pilihan pola sebagai berikut : Pertama, apabila korupsi diqiasakn dengan pidana al-sariqoh, yang sanksinya secara tekstual adalah potong tangan, maka Penulis berpandangan dalam konteks ke-Indonesia-an, apabila potong tangan diartika secara fisik, maka potong tangan dapat ditransformasikan ke dalam reformulasi sanksi pidana korupsi di Indonesia, hanya saja sanksi potong tangan tersebut diposisikan sebagai sanksi alternatif dari pidana mati, yang merupakan saknsi korupsi apabila korupsi diqiasakan dengan jarimah al-hirobah. Apa lagi sanksi pidana mati saat ini sudah masuk dalam formulasi pemberatan pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun sanksi potong tangan dalam arti majazi, seperti memotong kebebasan (penjara) memotong kekuasaan (penghentian jabatan) saat ini sudah masuk dalam formulasi dalam sanksi pidana korupsi di Indonesia. Yang Kedua, ketika dipahami bahwa sanksi pidana korupsi masuk dalam wilayah takzir, maka sangat mungkin taradisi hukuman yang bersifat takzir ini ditransormasikan ke dalam reformulasi pidana korupsi, karena penentuannya ditentukan oleh Penguasa berupa taknin/qonun, seperti undang-undang, atau ditentukan oleh Qodhi dalam bentuk yurisprudensi. Dalam bentuk pidana takzir ini, maka hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi bisa beranika ragam dan diversikatif, sehingga apabila mengadopsi nilai-nilai hukuman takzir, maka akan banyak pilihan hukuman (Diversifikasi) untuk dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sesuai dengan berat ringannya perbuatan pidana yang dilakukan, yang pada setiap bentuk-bentuk hukuman, ada nilai-nilai keadilan yang didasarkan atas perlindungan yang bersifat universal. Islam tidak menginginkan penjatuhan sanksi (pidana) bagi pelaku tindak pidana, akan menimbulkan ketidak adilan yang lain baik kepada pelaku maupun bagi korban tindak pidana dan masyarakat secara umum, karena itulah Islam menempatkan sanksi pidana sebagai hukuman yang tidak hanya berdimensi pembalasan, tetapi juga mengandung nilai-nilai pembelajaran untuk menimbulkan efek jera, baik pelajaran bagi pelaku dan masyarakat secara umum. Hal ini sejalan dengan tujuan Allah SWT menentukan hukuman yang berdasarkan hukum Islam melalui Nabi Muhammad SAW yang bertugas untuk menyampaikan wahyu kepada umat manusia di dunia. Tujuan diturunkan dan diterapkannya hukum untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, yakni kebahagiaan di dunia dan di akhirat sekaligus dengan fungsinya sebagai “rahmal lil alamin”, sebagaimana diindikasikan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat:107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Kemaslahatan direalisasikan dengan cara mengambil manfaat (jalb al-manafi’/al-mashalih) dan menolak kerusakan (dar’ al-mafasid). Kemaslahatan (pengambilan manfaat dan penolakan kerusakan) berpijak pada pemeliharaan lima hal pokok (al-kuliyat al-khams), yang meliputi agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-aql), keturunan (al-nasl), dan harta (al-mal). Lima hal pokok ini merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus ada dalam mengarungi kehidupan di dunia. Dengan kata lain, kehidupan manusia di dunia ditegakkan dengan lima hal pokok tersebut. Untuk menegakkan lima hal pokok itu, Islam menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dipedomani dan dipatuhi manusia. Ketentuan-ketentuan itu dapat berupa tuntutan-tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan (perintah : al-amr) atau tuntutan-tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan : al-nahy).
Sanksi-sanksi dalam hukum pidana Islam terkait tindak pidana korupsi, yang menjadi titik konsen dalam penelitian ini, adalah berkaitan dengan hal penegakan dan pemeliharaan harta atau keuangan negara, yang tidak hanya merugikan orang perorang, melainkan menimbulkan kerugian masyarakat secara umum. Karena itulah adaptabilitas penerapan sanksi pidana Islam tersebut, sangat relevan untuk pembaharuan hukum pidana korupsi di Indonesia, karena Islam menetapkan ketentuan tentang tata cara memperoleh harta dan konsekuensinya (akibat hukumnya). Banyak cara dan jalan untuk memperoleh dan menguasai harta yang benar dan sah dalam Islam. Harta bisa dimiliki dengan cara mendapatkan dan mengambil harta yang dipastikan bukan milik orang lain apa lagi milik masyarakat secara umum (negara). Di samping larangan secara umum itu, Islam juga menetapkan sanksi (hukuman) bagi orang yang mendapatkan harta melalui cara-cara yang tidak dibenarkan dan melanggar hukum. Dalam perjalanan historis kehidupan manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya, perbuatan untuk mendapatkan harta secara tidak benar dan tidak sah selalu muncul dalam kehidupan sosial dan bentuk-bentuk perbuatan pidana dalam persoalan harta terus bekembang. Di zaman sekarang ini, ada satu bentuk perbuatan untuk mendapatkan harta yang kelihatannya benar, namun sebenarnya perbuatan itu sangat merugikan orang lain. Kerugian yang diderita tidak hanya dialami oleh satu individu, tetapi dirasakan secara umum oleh komunitas sosial. Bahkan berakibat merusak dan memporak-porandakan tatanan sosial dan pada titik ekstrim bisa berakibat runtuhnya sebuah bangunan negara. Tidak seperti halnya pada kasus pencurian dan perampokan dalam bentuknya yang “biasa”, kerugian hanya dialami oleh satu individu (pribadi) atau beberapa individu dan tidak menyangkut orang banyak (publik). Dengan demikian, perbuatan itu mempunyai akibat negatif yang lebih besar dibandingkan dengan akibat kasus pencurian dan perampokan dalam bentuknya yang “biasa” dilakukan orang. Perbuatan yang dimaksudkan adalah apa yang dikenal orang dengan istilah ‘Korupsi’. Fenomena korupsi di Indonesia telah lama tumbuh dan mengakar dalam kultur masyarakat Indonesia.
Adalah hal wajar, ketika bentuk hukuman maksimal dan berkeadilan sosial, diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Salah satu yang coba ditawarkan oleh beberapa kalangan adalah mereformulasi bentuk hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi, dengan hukuman yang spesial dan khusus, salah satunya adalah merumuskan dan menerapkan potong tangan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia, tentu dengan reorientasi yang sesuai dengan kebutuhan masayarakat Indonesia, sebagaimana telah Penulis sebutkan di atas. Dan hal ini pastilah ada kontroversi dan perdebatan bergulir dengan derasnya, antara yang setuju dan yang menolak. Namun, tentu ada hal penting yang mesti disepakati bahwa perlu adanya penjeraan terhadap pelaku korupsi, dengan memposiskan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa dan sanksinya pun harus luar biasa. Masyarakat sudah jenuh dan kecewa dengan hukuman penjara yang selama ini telah menjadi kelaziman dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia, karena terbukti bukan hukuman yang adil untuk kasus korupsi yang menimbulkan dampak besar bagi tatanan sosial kemasyarakatan.
Penelitian ini mencoba mencari formuasi hukuman yang bisa memberi efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan bukan dalam upaya menghapus hukuman penjara dalam rumusan sanksi pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, hanya saja mencoba menawarkan sejauh mana nilai dari konsep pemidnaan itu bisa berdampak positif dan berkeadilan, dengan mencoba menawarkan beberapa alternatif sanksi pidana yang lain, dan sanksi pidana penjara tetap merupakan bagian dari formulasi bentuk-bentuk pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, namun perlu adanya diversifikasi bentuk pidana, yang memungkinkan penjatuhan pidana yang bervariasi sesuai dengan berat ringannya tindak pidana korupsi yang dilakukan, sehingga dalam penelitian ini tidak hanya berbicara potong tangan, melainkan ada sanksi yang tetap dipertahankan seperti hukuman mati, pencabutan hak-hak tertentu dan lain-lain.
Dengan demikian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, seharusnya ada upaya reformulasi bentuk pidana yang diversifikatif, mulai dari yang ringan sampai hukuman yang terberat. Secara yuridis, ini dimungkinkan mengingat hukum di Indonesia masih menganut pemberlakuan hukuman mati. Dari titik ini maka implementasi hukuman mati bagi koruptor jelas memiliki akar filosofis dan yuridis. Apalagi dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 dinyatakan secara tegas bahwa, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan sebagai pengulangan tindak pidana korupsi.
Adaptabilitas hukum pidana korupsi dalam hukum pidana Islam berupa hukum potong tangan dan lain-lain, pasti menimbulkan kontraversi dari beberapa kalangan, tentulah ada yang setuju dan ada yang menentang. Terutama apabila dikaitkan dengan konsepsi Hak Asasi Manusia, yang dianggap potong tangan terlalu keras apabila diterapkan di Indonesia. Bahwa oleh karena Negara Indonesia adalah Negara hukum, maka semuanya dikembalikan pada hukum. Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pasal 28 J ayat 2, secara umum telah mengatur pembatasan Hak Asasi Manusia, untuk melindungi Hak Asasi Manusia lain yang lebih bersifat luas dan demi kepentingan umum. Pembatasan tersebut adalah sah sejauh didasarkan atas undang-undang[25]. Dengan demikian, maka bentuk sanksi pidana Islam, jika sudah diinternalisasikan dan normatifisasikan ke dalam pembaharuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka penerapan sanksi Pidana Islam tidak bisa dikatakan sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Apa lagi bagi masyarakat Indonesia yang berfalsafah hidup Pancasila dalam membentuk dan melakukan proses pembaharuan hukum nasional terutama pembaharuan di bidang hukum pidana korupsi, ditambah lagi keinginan masyarakat untuk memberlakukan hukuman yang tegas bagi pelaku korupsi, tentunya butuh hal baru berkaitan dengan bentuk hukuman dan sanksi, yaitu bukan hanya sekedar hukum yang hanya merupakan satu segi dari penjelmaan hidup kemasyarakatan atau yang semata-mata bersumber pada unsur-unsur yang ada dalam pergaulan manusia dengan manusia saja, tetapi pembentukan hukum dan pembaharuan hukum itu adalah bersumber pada sesuatu yang juga mempunyai dimensi religius, dengan mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang bersumber dari ajaran agama yang diyakini kebenarannya. Sehingga sanksi pidana Islam jelas bisa diadaptabilisasikan ke dalam rumusan pembaharuan hukum pemberantasan tidak pidana korupsi, dengan melihat secara komprehensip dari tahapan-tahapan dan prasyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sehingga anggapan melanggar HAM dapat dieliminasi, dengan alasan-alasan filosofis dan yuridis sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Dengan demikian dalam pidana Islam ada konsepsi yang paling esensial dalam penerapan bentuk hukuman apapun bentuknya, yaitu keadilan dari sisi korban dan keadilan dari sisi pelaku, yang kemudian melekat pada tujuan pemidanan yaitu sebagai pembinaan dan keadilan. Jadi hakekat dan tujuan dari pidana Islam sebenarnya sangat menghargai manusia sebagai makhluk yang sangat sempurna baik dimata Allah dan di mata manusia. Namun ketika manusia terlanjur melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagi pidana (kejahatan) maka ia harus mempertangung jawabkan semua perbuatannya itu sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika manusia pernah melakukan suatu perbuatan pidana (kejahatan) yang sampai menginjak harga diri dan mencederai Hak Asasi Manusia, maka ia harus siap untuk dicederai pula Hak Asasinya sebagai manusia. Sehingga pilihanya adalah jika tdak ingin Hak Asasinya di lukai, maka jangan sampai melukai Hak Asasi Manusia lain.
[1] Gatot Suhirman, Fiqh Mazhab Indonesia -Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi as-Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat li- Indonesia ( Jurnal Al-Mawarid, Vol. XI, No. 1, Agustus 2010), hal. 111
[2] Transformasi diartikan sebagai perubahan dan pengalihan : rupa, bentuk, sifat, dan fungsi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Edisi ke- 3, 2003).
[3] Lihat Robert S. Leiken, dalam Azyumardi Azra, 2001, dalam Ervyn Kaffah dan Moh. Asyiq Amrulloh (Ed), Fiqih Korupsi-Amanah Vs. Kekuasaan, Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB, 2003, hal. 96.
[4] Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta, Gramedia pustaka Utama, 1991, hal. 7 dalam Adama Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, ( Malang : Banyumedia Publising,2001) hal. 1.
[5] Wijowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 128,
[6] Lihat rumusan pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tamabahn Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 387.
[7] Anis Saidi, “Kendala Perkembangan Demokrasi Dan Implikasinya Terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan (Korupsi),“ dalam A.S.Burhan, dkk, ed, Korupsi Di Negeri Kaum Beragama; Ikhtiah Membangun Fiqh Anti Korupsi (Jakarta: P3M dan Kemitraan Partnership, 2004), hal. 43.
[8] Bahtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, (Bandung : Fa. Sumatra, 1979), hal. 161.
[9] Ibid.
[10]Jimly Asshiddiqi, Op. Cit. Hal. 219.
[11] Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2021 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tamabahn Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 387.
[12] Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2021 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tamabahn Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 387.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Bandingkan dengan Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Jakarta : Gama Media, Yogyakarta, 2002), hal. 11-13.
[16] Bandingkan dengan Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (LkiS : Yogyakarta, 2003), hal. 16.
[17] Baca ayat Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat : 38 tentang hukuman bagi pelaku pencurian. Dalam ayat tersebut Allah hamya memerintahkan agar pencuri laki-laki dan perempuan dipotong tangannya, namun tidak dijelaskan syarat-syarat apa saja yang harus ada sehingga hukuman itu dapat di jatuhkan. Lebih jelasnya baca : Abdur Rahman I. Doi, Inilah Syariah Islam, (Pustaka Panjimas, Jakarta, 1991), hal.370-371.
[18] Pandangan serupa pernah dikemukakan oleh Munawir Sjadali, bahwa Islam sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, merupakan ajaran yang sangat maju, revolusioner, dan berhasil membawa perubahan-perubahan pada hampir semua aspek kehidupan. Namun pada zaman sekarang ini, Islam merupakan ajaran yang ketinggalan dan mewakili aliran yang terbelakang, Hal ini disebabkan oleh kegagalan para ilmuan untuk mengembangkan ajaran Islam. Sementara peradaban dunia terus maju, dan pemikiran para ilmuan Islam terhenti dan daya imajinasi mereka mandek, karena kebanyakan mereka cenderung mengadakan pendekatan harfiah atau tekstual terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi (Munawir, 1997:27).
[19] Bleicher dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan : Metodelogi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, (Bandung : Penerbit Teraju Refleksi Masyarakat Baru, 2002), hal. 31.
[20] Fazlur Rahman adalah seorang peneliti senior dari Pakistan dalam memahami ayat-ayat pidana hudud lebih cenderung menggunakan metode kritik sejarah dalam memahami ayat-ayat hudud dalam Al-qur’an. Metode ini terdiri dari tiga langkah utama: pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks-teks Alqur?an dalam bentangan dakwah Nabi. Kedua, membedakan antara ketetapan legal dan sasaran serta tujuan Al-qur’an. Ketiga, memahami dan menetapkan sasaran Al-qur’an dengan memperhatikan secara penuh latar belakang sosiologisnya (lihat dalam Fazlur Rahman, “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives” dalam International Journals of Middle East Studies, Vol. I, tahnun 1970, hal. 329-330. Sebagaimana dikutip oleh Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1994) hal. 189-220, sebagamana dikutip oleh Junaidi Abdillah dalam Gagasan Reaktualisasi Teori Pidana Islam Dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Di Indonesia, Ijtimaiyya-Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 10 (1) (2017) 63-95 e-ISSN: 2614-6215, Mei 2017, hal. 66.)
[21] Teori yang diusungnya dikenal dengan konsep “Dekonstruksi Syari?ah”. Menurutnya, syari?ah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanya interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami dalam konteks historis tertentu. Penafsiran dan praktik keberagamaan, tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosiologis, ekonomi dan politik masyarakat tertentu, tentu saja ada variasi dan kekhasan lokal, demikian hanlnya sistem hukum agama seperti syariah. dengan demikian, syariah yang telah disusun oleh para ahli hukum perintis dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, dengan catatan tetap berdasarkan pada sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama. Karenanya, An-Na’im menggugat sakralisasi hasil pemahaman syariah historis, terlebih ia menilai syariah, sudah tidak lagi memadai dan tidak adil, padahal syariah dipandang umat Islam merupakan bagian dari keimanan (Abdullahi Ahmed An-Na?im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law (New York: Syracuse University Press, 1996) h. xiv dan Lihat juga Abdullahi Ahmed An-Na?im, Islam dan Negara Sekuler; Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, (terj). Sri Murniati (Bandung: Mizan, 1997), hal. 27, dalam Junaidi Abdillah, ibid, hal. 69.)
[22] Muhammad Syahrur Al Dayyub, dalam menafsiri hukum Islam yang berkenaan dengan sanksi hukum pidana Islam, secara hermeneutika memperkenalkan terorinya yang disebut teori “batas” atau lazim dikenal dengan nazhariyyat al-hud?d. Dalam Kitabnya yang berjudul: al-Kitab wa al-Qur?an; Qira?ah Mu??sharah Syahrur mengemukakan bawa dalam syari?at Islam terdapat ketentuan batas minimal (al-hadd al-adna) dan batas maksimal (al-hadd al-a?la). Perbuatan hukum yang kurang dari batas minimal dan melebihi batas maksimal dipandang tidak sah. Ketika batas-batas tersebut dilanggar, maka pidana dan pemidanaan harus dijatuhkan menurut proporsi pelanggaran yang dilakukan (Muhammad Syahrur, al-Kitab wa Alqur?an; Qira?ah Mu?asharah (Damaskus: al-Ahali, 1990) hal. 580., dalam Junaidi Abdillah, Ibid, hal. 71.)
[23]Choirul Ikhwan, http://aristhu03.files.wordpress.com/2006/10, dalam Muhammad Iftar Aryaputra, Menggali Kearifan Islam Dalam Menyongsong Rancangan KUHP, Jurnal Humani, Vol.6, No.1, Januari 2016 , hal. 8.
[24] Temuan di Lapas Suka Miskin, Dari TV Layar datar, Sampai Terjadi Jual Beli Kamar Mewah, BBC Nes Indonesia, tanggal 23 Juli 2018, http://www.bbc.com. 2018.
[25] Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasca Amandemen.